makna upacara sebagai media ikatan sosial
Makna Upacara Sebagai Media Ikatan Sosial
Upacara kematian atau penguburan masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, bukan sekedar aktivitas seremonial tanpa makna. Upacara ritual ini juga dapat dipandang sebagai pendisiplinan yang memberikan kekuatan dasar bagi suatu kelompok masyarakat untuk saling lebih terikat satu dengan yang lain secara berkesinambungan. Fungsi upacara tidak sekedar bersifat sakral melainkan juga bersifat sosial. Fungsi sosial upacara secara umum menurut Brown (1965:242) akan mengatur, mempertahankan dan memindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sentimen-sentimen yang menjadi landasan kelangsungan dan ketergantungan dalam masyarakat yang bersangkutan
Fakta budaya memperlihatkan, masyarakat dayak pada umumnya merasakan adnyanya semacam kewajiban moral dan sosial untuk melaksanakan upacara kematian terakhir. Kuwajiban moral, di dasari oleh anggapan bahwa orang yang meninggal jika belum diselenggarakan upacara terakhir maka jasad tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, arwah akan tetap berada di sekitar sanak keluarga yang masih hidup dan bahkan dapat mengancam ketenangan. Kepercayaan inilah yang secara psikologis sangat mengganggu pikiran bagi mereka yang belum melakukan upacara mengantarkan roh.
Sedangkan kuwajiban sosial yang dimaksud, adalah perasaan yang tidak enak terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya jika belum melakukan upacara. Kecenderungan upacara tiwah misalnya sebagai penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal, maka bagaimana pun besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan upacara kematian tersebut, memaksa orang tetap berusaha agar dapat melaksanakan maksudnya. Pelaksanaan upacara kematian melibat banyak orang dalam masyarakat dan mempunyai jaringan kegiatan yang cukup luas. Jadi jelaslah bahwa upacara kematian mempunyai fungsi dan peranan tersendiri dalam masyarakat dayak.
Apabila kebudayaan dilihat sebagai seperangkat model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh para pendukungnya, terutama sebagai makhluk sosial untuk menginterpretaikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk bertindak (Suparlan, 1988), maka wujud budaya spiritual para penganutnya yang secara bergenerasi telah mereka pedomani dan fungsikan, ternyata tidak hanya untuk mempertahankan keberadaan mereka, tetapi juga untuk dapat berubah dan berkembang. Dengan demikian, hubungan fungsional antara budaya spiritual para penganut (yang mungkin dianggap telah “klasik”) dengan tuntutan pembangunan (yang “modern” dan penuh dinamika), dapat dengan mudah mengalami perkembangan.
Demikian pula yang terjadi pada masyarakat dayak yang sekarang telah berpikir dan bertindak secara praktis. Upacara kematian yang mereka selenggarakan baik itu upacara tiwah, maupun upacara marabia atau ijambe, serta mabatur misalnya, sebagai upacara pengantar roh ke dunia arwah, tidak harus diselenggarakan secara individual melainkan demi efisiensi beaya diselenggarakan secara masal dengan beaya ditanggung secara bersama. Bahkan upacara ini dapat saja dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah event wisata yang laku keras di kalangan turis asing yang haus akan informasi budaya. Tetapi fungsi upacara kematian tersebut nampaknya tetap terjaga dan tak tergoyahkan oleh berbagai perubahan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa fungsi dan peranan sosial dari upacara kematian adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat. Sebab upacara kematian dilakukan berkenaan dengan pedoman-pedoman dalam kebudayaan, sedangkan fungsi kebudayaan adalah sebagai pegangan bagi mewujudkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat akan berlaku dan bertindak sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam kebudayaannya.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan upacara tiwah tidak saja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang berlaku tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dari upacara tersebut, agaknya orang lebih menekankan pada aspek sosialnya dari pada aspek kepercayaan yang menjadi sumber dari upacara kematian tersebut. Misalnya pandangan semakin banyak kerbau yang dikorbankan dan semakin lama upacara berlangsung, akan semakin menambah kebanggaan dari penyelenggara dan nama keluarga tersebut akan menjadi buah bibir di mana-mana. Upacara tiwah memakan biaya yang besar, sehingga dilihat dari dimensi ini nampaknya upacara ini semacam pemborosan, apalagi jika dilakukan secara menyolok untuk menunjukkan kemampuan pihak pelaksana. Bagi keluarga yang kurang atau tidak mampu, keinginan untuk melaksanakan upacara tiwah sebagai cambuk bagi mereka untuk bekerja lebih keras agar mendapatkan dana demi tercapainya keinginan tersebut.
Pada masa sekarang ini pesta tiwah selain diselenggarakan oleh keluarga secara sendiri-sendiri, dapat pula dilakukan bersama-sama oleh sekelompok keluarga atau bahkan oleh satu desa. Mereka bersama-sama mengumpulkan dana kemudian menyelengarakan upacara tiwah. Kadang-kadang terjadi pula pihak yang satu hanya membatu pihak yang lain, dan dikemudian hari tentunya pihak yang pernah dibantu akan membalas bantuan tersebut. Dari sini kita melihat bahwa masyarakat dapat menjalin kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan masing-masing, yang berkaitan dengan kebudayaannya.
Biasanya upacara tiwah berlangsung setelah musim panen padi, hal ini mengingat bahwa setelah panen orang-orang memiliki bahan pangan yang cukup. Jadi dengan adanya bahan pangan yang cukup serta waktu luang sementara menunggu musim membuka hutan berikutnya, orang-orang merasa lebih tenteram menghadipi hidupnya sehingga dapat melakukan kegiatan lain di luar pekerjaan rutin di ladang. Melihat keadaan yang demikian dapatlah kita pahami mengapa keterlibatan masyarakat cukup besar pada saat pesta tiwah dilangsungkan. Bagi pengunjung pasti akan memberikan kesempatan mendapat kenalan baru atau bertemu dengan kenalan lama, bagi muda-mudi dapat saling mengenal, dan bagi keluarga, tiwah dapat dijadikan sarana mempererat hubungan kekeluargaan, karena seluruh sanak saudara di mana pun berada pasti hadir dalam upacara tiwah sebagai upacara pelepasan roh leluhurnya. Pelepasan jiwa dari raga yang kemudian di antarkan menuju ke dunia lain melalui upacara tiwah inilah merupakan saat-saat yang sakral bagi masyrakat dayak yang masih hidup di dunia.
Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara kematian ini mempunyai kedudukan sebagai perantara, simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat tertentu yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial menjadi tingkat yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dan mewujudkan adanya kebersamaan yang secara struktural dalam bentuk simbolik. Hubungan antara upacara dengan agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual.
Mencermati proses pelaksanaan upacara kematian di berbagai etnis masyarakat dayak di pedalaman Kalimantan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalam riligi mayarakat dayak yang sifatnya individual, kecuali yang sifatnya magik seperti mencuci senjata misalnya. Hal tesebut sangat nyata disepanjang kegiatan upacara kematian berlangsung, semua dilakukan secara bersama baik dalam tingkat persiapan maupun pelaksanaan. Semua upacara kematian bahkan mungkin upacara yang berada disepanjang lingkaran hidup atau berkaitan dengan perladangan, tidak dipandang sebagai kegiatan perorangan tapi sebaliknya dipahami sebagai aktivitas bersama. Semua upacara dilakukan oleh dan untuk tujuan bersama. Orang-orang desa bahkan orang-orang dari uar desa setempat penyelenggara upacara banyak yang berdatangan mengunjungi upacara kematian walau pun tidak diundang. Rasa solidaritas yang dalam dan kuat, menjadikan upacara menjadi semarak. Jumlah pengunjung upacara yang terlibat dalam upacara termasuk banyaknya peserta upacara pasif dan tamu undangan, memberikan sifat dan status tertentu pada penyelenggara tiwah. Semakin banyak orang-orang yang hadir ikut upacara (pasif maupun aktif) menunjukan semakin tinggi pula kedudukan sosial masyarakat tersebut dan makin terhormat pula masyarakat desa penyelenggara tiwah tersebut. Demikian religi mengintensifkan kerja sama masyarakat dan kesalingtergantungan semua warga dalam suatu komunitas masyarakat. Kecenderungan upacara sebagai pembenaran atas keyakinan, terkonsepsikan untuk banyak orang, bukan untuk dilaksanakan perorangan.
Masyarakat dayak di pedalaman kepulauan Kalimantan, memiliki pemahaman ketuhanan yang sangat kuat sebagaimana tercermin di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Keagamamaan mereka bukan dalam arti seperti agama besar, Islam, Kristen, atau budha dan bahkan Hindu, namun terbatas pada dunia lingkungan sukunya sendiri berhubungan dengan ikatan yang esensial terhadap nenek moyangnya. Penghormatan terhadap roh leluhur tersebut, oleh beberapa ilmuwan barat dijadikan pusat perhatian untuk menggunakan istilah agama dalam judul buku-buku hasil penelitiannya seperti Ngaju Religion, Dayak religion dll. Istilah tersebut memperlihatkan, bahwa imuwan-ilmuwan barat itu meghormati kepercayaan masyarakat dayak.
Konsep religi masyarakat dayak yang mendasarkan pada kaharingan jelas sekali berlandaskan pada konsep religi pada masa prasejarah yang sudah mulai muncul sejak akhir neolitik dan awal paleometalik. Penghormatan terhadap roh leluhur, terlihat dalam konsep kematian yang berdampak pada praktik-praktik penguburan primer dan sekunder yang sudah ada sejak zaman prasejarah. Kematian bukanlah tidur yang panjang tak berkesudahan, kematian juga bukan akhir dari kehidupan, melainkan justru awal dari suatu kehidupan yang baru. Artinya, setelah kematian, roh perlu kembali ke tempat asal dan hidup abadi di sana. Karena itu ketika mereka masih hidup di dunia, mereka harus berbuat baik sesuai dengan ajaran-ajaran yang dituturkan oleh nenek moyangnya.
Dalam banyak religi di dunia, upacara kematian menempati tempat utama dan paling esensial dalam perjalanan kehidupan manusia. Paling tidak terdapat dua makna dalam upacara ini bagi masyarakat dayak. Makna pertama, adalah untuk mensucikan arwah sekaligus mengantarkannya ke dunia akhirat. Di balik kesakralan upacara ini nampak ada semacam kewajiban moral dan sosial untuk melaksanakan upacara. Kewajiban secara moral dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa orang yang meninggal jika belum menjalani upacara tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, Kepercayaan inilah yang secara psikologis sangat mengganggu pikiran bagi mereka yang belum melakukan upacara baik upacara tiwah (Dayak Ngaju) maupun upacara Mabatur (Dayak Lawangan) maupun upacara . (Dayak Ma’anyan) dan sebagian besar masyarakat dayak lainnya.
Makna kedua dari upacara kematian adalah makna sosial itu sendiri. Artinya peranan upacara adalah untuk mempersatukan sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mula ekspresinya. Penyelenggaraan upacara kematian ini, tidak saja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang berlaku tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Upacara kematian merupakan arena sosial di mana orang memiliki kesempatan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Upacara kematian mampu mempertemukan berbagai kepentingan yang berasal dari berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda, bahkan menjalin hububungan yang harmonis antar etnik. Dengan demikian secara ringkas makna sosial dari upacara kematian ini adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat.
Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya upacara ritual ini memaksa penyesuaian dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Masyarakat Dayak Ngaju atau Dayak Lawangan misalnya, sekarang telah berpikir dan bertindak secara praktis. Upacara kematian tidak harus diselenggarakan secara individual melainkan demi efisiensi diselenggarakan secara masal dengan beaya ditanggung secara bersama. Bahkan upacara tiwah dapat saja dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah event wisata yang laku keras di kalangan turis. Tetapi fungsi upacara kematian tersebut nampaknya tetap terjaga dan tak tergoyahkan oleh berbagai perubahan. Pengemasan upacara dalam bentuk sajian yang dijual kepada wisatawan local maupun asing inilah yang sekarang sedang dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam memajukan daerahnya.
http://mirwaty.blogspot.co.id selasa 7 mei 2018 Akademi Kebidanan Ummi Khasanah Yogyakarta. AKBIDUK Jogja. Pendaftaran PMB Akbid. AKBID Kebidanan. Mau jadi Bidan Profesional dan handal kunjungi : www.akbiduk.ac.id
Akbid di Jogja Akbid Ummi Khasanah Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar