religi dan makna upacra kematian masyarakat dayak

Religi dan Makna Upacara Kematian Masyarakat Dayak

 Dalam banyak religi di dunia, upacara kematian menempati tempat utama dan paling esensial dalam seluruh rangkaian upacara yang pernah dikenal dalam kebudayaan manusia. Bagi Masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan, paling tidak terdapat dua makna dalam penyelenggaraan upacara kematian, yakni makna religius dan makna sosial. Makna pertama, adalah sebagai penghormatan terakhir dan pensucian arwah sekaligus mengantarkannya ke dunia yang abadi. Makna kedua adalah makna sosial sebagai media berinteraksi antar sanak saudara, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya. Dalam dimensi ini upacara kematian mampu mempertemukan berbagai kepentingan yang berasal dari berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda, bahkan menjalin hububungan yang harmonis antar etnik. Dengan demikian makna sosial dari upacara kematian ini adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat.

Bagi studi etnoarkeologi, upacara kematian masyarakat dayak dapat dipergunakan sebagai jendela untuk melihat perilaku masyarakat masa lampau tentang konsep hidup sesudah mati dan sistem penguburan yang tidak dapat diamati oleh data arkeologi. Warisan budaya, living tradition ini sekarang menghadapi tantangan zaman, akibat pengaruh dari globalisasi yang sukar untuk dapat dikendalikan. Pendokumentasian dan penelitian yang serius, sangat mendesak untuk segera dilakukan. Dalam konteks upaya pelestarian inilah, pemerintah perlu menempatkan diri sebagai fasilitator bukan legislator. Artinya pemerintah harus memposisikan sebagai pengemban, bukan pemilik dari kebudayaan itu, sedangkan semuanya diserahkan kepada kemauan masyarakat selaku pemilik dan pewaris dari kebudayaan yang bersangkutan.

 Religi bukanlah subyek baru dalam ilmu arkeologi. Salah satu bukti aktivitas religi pada masa lampau adalah adanya jejak penguburan yang tersebar luas di wilayah Indonesia. Kecenderungan religi sebagai salah satu unsur kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Religi bukan sekedar unsur budaya yang idealistik yang konsepsi-konsepsinya dipalut oleh aura faktual agar kelihatan realisitis, melainkan merupakan unsur budaya yang aplikatif.

Selama ini cara kerja arkeologi adalah berdasarkan pada archaeological records, yaitu kebudayaan materi yang pada hakekatnya merupakan wujud ide, gagasan atau kepercayaan masyarakat penciptanya. Oleh karena yang dipelajari adalah budaya materi yang masyarakat penciptanya telah punah, maka mengikuti kerangka pemikiran tersebut, rekonstruksi yang dilakukan oleh arkeologi sebenarnya hanya terbatas pada “etik” dan belum mampu menjangkau ke “emik” (Magetsari, 1995). Hal itu berarti, jika misalnya kita meneliti masalah kepercayaan atau religi masyarakat yang telah punah, kita tidak akan mampu membongkar sepenuhnya, karena adanya jarak waktu maupun jarak kebudayaan yang sangat jauh antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti (telah punah).

Ketidakmampuan arkeologi mengobservasi secara langsung terhadap “fakta arkeologi” yang telah punah tadi merupakan penyebab arkeologi tidak dapat menjangkau emik. Keterbatasan ini sudah lama disadari oleh Piggot yang menjelaskan bahwa arkeologi memang mampu mendeskripsikan bahkan menyusun teori tentang organisasi upacara penguburan, tetapi tidak mungkin mengetahui latar belakang kepercayaannya (Piggot, 1959; Magetsari, 1995).

Dari paparan di atas, menjadi jelas, bahwa kepercayaan yang melatarbelakangi upacara kematian dan sistem penguburan suatu masyarakat prasejarah, misalnya, tidak mungkin dapat diungkapkan melalui kajian artefak atau arhaeological records. Melihat kenyataan di atas, maka upaya mengungkapkan konsep kepercayaan mayarakat prasejarah khususnya konsep kematian dan sistem penguburan pada masyarakat yang telah hilang itu, perlu memanfaatkan metode lain yaitu metode “analogi”. Pengertian analogi di sini adalah memahami historical culture melalui analogi etnografi yang sekarang lazim dikenal dengan etnoarkeologi. Tujuan dari analogi ini ialah untuk memperoleh model kebudayaan yang mampu diproyeksikan pada kebudayaan masa lampau (Watson, 1971: 50). Dalam konteks kepentingan kajian etnoarkeologi inilah, kepulauan Kalimantan merupakan salah satu daerah penting, karena daerah ini menyimpan banyak data etnografis yang belum tergarap. Berbagai konsep dari tradisi prasejarah masih banyak yang dipertahankan dan bahkan dipraktikkan oleh masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan.

Tulisan ini akan mencoba mengkaji makna upacara kematian yang masih sering dipraktikkan oleh berbagai suku masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, sebagai bahan analogi para arkeolog untuk mengungkapkan berbagai fakta budaya pada masa prasejarah yang tidak dapat diamati melalui artefak. Dengan demikian hasil dari pemaparan etnografi ini diharapkan dapat diposisikan sebagai media intepretasi atau eksplanasi terhadap data arkeologi yang pernah ditemukan di situs-situs penguburan prasejarah di Kalimantan. Dengan perkataan lain dari analogi data etnografi ini dapat diperoleh model kebudayaan yang mampu diproyeksikan pada kebudayaan masa lampau. Namun demikian perlu diingat, bahwa tidak semua tingkah laku masyarakat yang diperlukan dalam analogi tersebut tersedia pada masyarakat sekarang. Demikian pula sebaliknya, tidak semua tingkah laku masyarakat pada masa sekarang relevan untuk dianalogikan dengan masa lalu karena perkembangan atau perubahan (Kramer, 1979:2).




http://mirwaty.blogspot.co.id/ selasa 7 mei 2018 Akademi Kebidanan Ummi Khasanah Yogyakarta. AKBIDUK Jogja. Pendaftaran PMB Akbid. AKBID Kebidanan. Mau jadi Bidan Profesional dan handal kunjungi : www.akbiduk.ac.id
Akbid di Jogja Akbid Ummi Khasanah Yogyakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

sistem-sistem yang ada dalam suku dayak

suku dayak ot danum